Sabtu, 02 Februari 2013

Lebih Baik Berusaha Daripada Tidak Sama Sekali


Awal Desember tahun lalu, kami mendapat berita bahwa Ibu yang tinggal di Yogyakarta, sakit. Dari telepon Ibu meyakinkan sakitnya tidak parah, hanya masuk angin. Kami sarankan agar Ibu berobat. Selang satu minggu kemudian kami menanyakan kabar Ibu, beliau menyatakan sudah sehat.
Natal hampir tiba. Kami disibukkan oleh kegiatan gereja menjelang perayaan Natal. Hingga kami lupa menanyakan kembali kabar Ibu di kampung. Sampai akhirnya beberapa hari menjelang Natal, kami mendapat kabar Ibu sudah tidak bisa berjalan karena sakit perut yang dirasakannya menjalar panas hingga ke kaki.
Kami sekeluarga di Jakarta merayakan Natal dengan penuh keprihatinan karena mengetahui keadaan Ibu yang ternyata masih sakit, sementara kami tidak mungkin meninggalkan tanggung jawab kepanitiaan Natal di Gereja.
Keesokan paginya, suami lebih dulu pulang ke Yogyakarta. Saya hanya berpesan untuk membawa Ibu berobat sampai tuntas ke rumah sakit terpercaya. Kami sekeluarga di Jakarta menunggu perkembangan kesehatan Ibu sambil berdoa.
Tengah malam akhirnya berita dari suami datang dengan mengejutkan. Suaranya di telepon terdengar bergetar menahan sedih.
“Dokter mendiagnosis ada tumor di perutnya. Masih diperlukan observasi lagi, tapi dokter mengatakan bahwa tumor itu harus diangkat. Hanya saja risikonya terlalu besar mengingat usia Ibu yang sudah sepuh. Operasi pun akan dilaksanakan dengan persetujuan keluarganya.”
Lanjut suami, “Apa yang harus saya lakukan? Saya hanya ingin mumpung Ibu masih bisa mengenali cucu-cucunya dan kebetulan anak-anak masih libur, bisakah membawa anak-anak menengokmbahnya di Yogya?”
Saya langsung menyanggupi untuk menyusul ke Yogya bersama anak-anak. Ternyata tidak mudah  mencari tiket untuk pulang ke Yogyakarta karena bertepatan dengan liburan semesteran sekolah.
Kejutan untuk Ibu karena beliau tidak menyangka cucu-cucunya datang di saat beliau berada di rumah sakit. Beliau sudah mengingatkan suami supaya tidak perlu membawa anak-anak pulang kampung apalagi sedang musim hujan.
Observasi penyakit Ibu berlanjut. Sampai pada suatu ketika dokter menemui kami berdua dan mengatakan satu-satunya jalan hanyalah melakukan operasi besar. Karena tidak diketahui persis di mana letak benjolan di perut Ibu. Di usus besar tidak terlihat, di rahim pun tidak.
“Tapi, operasi kami lakukan setelah mendapat persetujuan dari keluarga. Hanya saja risikonya sangat besar, mengingat usia Ibu yang sudah sepuh. Risiko terbesar adalah Ibu meninggal di meja operasi saat operasi sedang berlangsung.”
Deg. Kami sudah berusaha mempersiapkan diri untuk mendengar keterangan dokter. Hanya ini yang kami katakan kepada dokter, “Baiklah Dokter. Demi Nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus, kami menyerahkan sepenuhnya kepada Dokter. Itu jalan yang terbaik untuk Ibu. Kalau seandainya terjadi sesuatu ketika operasi, setidaknya kami sudah berusaha untuk menyembuhkan Ibu. Semuanya kami serahkan kepada Penyelenggaraan Ilahi.”
Dokter menjawab, “Baiklah bila itu sudah keputusan keluarga, pihak rumah sakit akan meminta tanda tangan persetujuan dari keluarga untuk keperluan operasi. Dua hari kemudian kami akan mempersiapkan untuk operasi Ibu.”
Kami menyampaikan kepada Ibu bahwa akan dilakukan operasi karena ada benjolan di perut Ibu agar kembali sehat dan dapat berjalan lagi. Kami tidak memberitahukan risiko yang akan dihadapi Ibu supaya beliau tidak kepikiran. Ibu menyanggupi dan dengan lapang hati menerima keputusan anak-anaknya.
Sayangnya, operasi harus diundur karena tekanan darah Ibu tiba-tiba meroket. Rupanya beliau menghitung menit-menit operasi yang seharusnya berlangsung, dan inilah yang menyebabkan tekanan darah beliau meninggi. Kami kembali harus bersabar dan kembali menyediakan total empat kantung darah untuk berjaga-jaga bila harus dilakukan transfusi.
Keesokan paginya, operasi pun dilaksanakan. Hanya saya dan suami yang menunggu di ruang tunggu keluarga. Keluarga besar yang lain rupanya masih belum siap bila harus mendengar kabar buruk. Hanya berdoa yang bisa kami lakukan saat itu. Kami pasrah dan berharap Tuhan berkenan memberikan mukjizatnya.
Dua jam berikutnya. Suara pengumuman terdengar jelas memanggil keluarga Ibu. Kami berdua menemui dokter yang tanpa ekspresi menyatakan bahwa operasi sudah selesai, benjolannya ternyata berisi nanah. Lalu, bagaimana keadaan Ibu? Sambil tersenyum dan menjabat tangan kami Dokter mengatakan, “Ibu baik, sehat”.
Puji Tuhan. Kepasrahan dan usaha kami tidak sia-sia, Tuhan berkenan memberikan mukjizatnya. (Sumber)

0 komentar:

Blogger Template by Clairvo